top of page
  • Facebook Social Icon
  • Twitter Social Icon
  • Instagram Social Icon

REVIEW : Despicable Me 3


Ambang batas toleransi saya terhadap makhluk kecil kuning hiperaktif bernama Minions sudah terlewati di 15 menit awal film solonya, hingga saya sampai bilang bahwa lebih baik majikannya, Gru kembali mengambil alih sorotan utama. Saya pikir Minions kurang greget karena ketidakhadiran Gru. Namun saya tak tahu bahwa lebih banyak Gru ternyata bukan berarti kabar yang lebih bagus. Benar sekali. Dalam Despicable Me 3, Steve Carrell tak hanya bermain sebagai mantan supervillain tersebut, melainkan juga sebagai saudara kembarnya yang seumur hidup tak pernah ia tahu. Namanya Dru.

Mungkin menyenangkan bagi Carrell untuk berperan ganda sebagai karakter beraksen aneh sekaligus karakter yang lebih bodoh dan beraksen lebih aneh. Bagi kita, tidak juga. Ada satu adegan dimana Gru dan Dru saling berganti pakaian. Gru berpura-pura menjadi Dru sementara Dru berpura-pura menjadi Gru. Keduanya tertawa terbahak-bahak datang ke meja makan, seakan-akan sudah sukses membuat lelucon bagus, merasa tak ada yang akan menyadari bahwa mereka saling bertukar posisi. Guess what, mereka semua tahu. Bahkan Agnes, anak bungsu Gru yang mungkin berumur di bawah lima tahun sama sekali tak terkesan. Anda tahu saya akan membuat analogi apa disini, jadi saya takkan menuliskannya. Ini yang saya sebut lawakan garing.

Setelah berubah menjadi ayah penyayang bagi 3 anak adopsinya: Margo, Edith, dan Agnes di Despicable Me, lalu menikah dengan agen Lucy (Kristen Wiig) di Despicable Me 2, Gru sekarang bergabung dengan Liga Anti Villain. Namun ia segera didepak bersama Lucy gara-gara gagal menangkap Balthazar Bratt (Trey Parker) yang berusaha mencuri berlian yang katanya terbesar di dunia.

Balthazar adalah mantan aktor cilik era 80-an yang pernah bermain sebagai penjahat di layar kaca, lalu berubah menjadi penjahat sungguhan gara-gara jerawat. Serius. Memakai aksesoris jadul seperti shoulder pads dan baju joging, Balthazar meneror kota dengan keytar (keyboard guitar) mematikan dan bom permen karet. Dan ia suka beraksi sambil ber-moonwalk ria diiringi trek lawas dari Michael Jackson (lagu "Bad", tentu saja), Madonna, hingga Van Halen.

Namun Balthazar bukan pendukung utama disini, karena saya tadi sudah bercerita soal Dru, dan porsi naratif mereka saling menenggelamkan satu sama lain. Emak Gru bilang bahwa ia punya saudara kembar bernama Dru yang tinggal di Freedonia. Dru bernasib lebih baik daripada Gru: kaya raya, punya banyak helikopter, dan masih memiliki rambut pirang yang mulus. Tapi sebenarnya ia iri dengan Gru yang mewarisi kelihaian penjahat turunan dari ayah mereka. Jadi ia berusaha mengajak Gru kembali ke dunia penjahat sekaligus mempelajari ilmu ke-penjahat-an dari Gru. Gru sendiri juga rindu dengan genjotan adrenalin saat berbuat jahat.

Sekarang anda mungkin ingin bertanya di bagian mana Minions masuk. Sayang sekali, alien kuning yang bicara dalam bahasa kumur-kumur ini hanya nyambung ke cerita di bagian akhir. Bahkan saking tak pentingnya, mereka bisa dipisahkan sepenuhnya dari film tanpa mempengaruhi plot. Mereka memensiunkan diri berkerja pada Gru karena bosan melihat Gru yang berhenti menjadi villain. Mereka lalu dipenjara gara-gara membuat kekacauan di acara semacam "America's Got Talent". Saya tak tahu apa hubungannya dengan cerita, tapi jujur saya ikut terkekeh menyaksikan mereka menggila di panggung.

Di antara semua film di franchisenya, Despicable Me adalah yang paling berisi, punya visi yang jelas. Plot Despicable Me 2 yang tambal sulam juga tak fokus, tapi Despicable Me 3 punya banyak subplot yang tak mengarah kemana-mana. Agnes terobsesi dengan pencariannya akan unicorn, dan Margo si anak sulung tiba-tiba dilamar oleh bocah Freedonia setelah memakan keju di festival lokal — tunggu, apa tadi?! Sementara itu, Lucy sedang berjuang menjadi figur ibu yang ideal bagi anak-anak Gru. Yang terakhir memang menjadi basis emosional yang bagus, kalau saja tak sekedar numpang lewat. Semua subplot begitu dangkal hingga hanya terasa seperti tempelan karena kekurangan ide lain.

Sutradara Kyle Balda dan Pierre Coffin mengkompensasinya dengan pacing yang gesit, tak memberi waktu bagi kita untuk memikirkan ceritanya. Visualnya yang cerah dan hiperaktif tetap menjadi suguhan sedap buat mata. Ada beberapa sekuens aksi yang menarik dengan memanfaatkan bom permen karet. Namun, gadget (dan dalam hal ini, mobil) yang dalam waktu sedetik mengeluarkan berbagai senapan, laser, dan rudal berbagai bentuk, tak lagi mengejutkan kita. Sebagaimana filmnya, tak ada momen yang benar-benar berkesan. Para pembuat filmnya melempar apapun yang bisa mereka masukkan untuk membuat franchisenya meraup lebih banyak lagi dari catatan $3 miliar mereka.

Namun kembali lagi. Film ini disasar untuk penonton yang saking mudanya mungkin belum tahu bagaimana cara mengeja "Balthazar". Mereka takkan berpikir muluk-muluk saat diserbu oleh sajian permen manis berwarna-warni yang diisi lelucon konyol seperti kentut Minions. Bagi anak-anak, gambar-gambar yang bergerak non-stop ini sudah dipastikan akan mengalihkan perhatian mereka. Sementara para orang dewasa hanya bisa bergantung pada lelucon dari nostalgia 80-an, trek lagu lawas semacam "Take My Breath Away", "Take on Me", dan "Jump", atau adegan cameo emak Gru di kolam renang yang sebenarnya agak jorok kalau dipikir-pikir. Atau pikiran saya saja yang mesum?

5 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page