top of page
  • Facebook Social Icon
  • Twitter Social Icon
  • Instagram Social Icon

REVIEW : Kingsman: The Golden Circle


Jika sudah menonton Kingsman: The Secret Service yang dirilis 2 tahun lalu, maka anda tahu akan mendapatkan apa. Anda takkan lagi syok dengan konsepnya yang merayakan kekerasan dan kevulgaran lewat elemen tradisi film mata-mata. Sekuelnya, Kingsman: The Golden Circle masih merupakan film eksploitatif berisi plot lebai, kekerasan komikal, dan lelucon seksis. Keduanya sama-sama film sampah yang digarap dengan dana maksimal, efek spesial berkelas, dan energi tinggi. Meski demikian, The Secret Service termasuk sampah berkualitas, sementara The Golden Circlenyaris menjadi sampah betulan.

Oke. Itu memang terdengar lebih kejam daripada yang saya maksudkan. Namun sebanyak saya menikmati beberapa momen dalam The Golden Circle, sebanyak itu pula saya menengok jam tangan dan berharap filmnya segera berakhir. Dengan durasi yang mencapai hampir dua setengah jam, terasa sekali filmnya terlalu sesak sekaligus dipanjang-panjangkan. Matthew Vaughn yang kembali menjadi sutradara, jelas menargetkan sesuatu yang lebih besar, lebih gila, dan lebih spektakuler. Namun semua ekses ini ditumbukkan kepada kita dengan konstan, sehingga bagian yang paling sinting sekalipun menjadi terkesan, uhm, agak biasa.

Coba lihat sekuens aksi pembuka dimana Eggsy (Taron Egerton) yang sekarang sudah sah menjadi agen Kingsman dengan nama-kode Galahad, ditangkap oleh salah satu musuh lamanya dari film pertama. Lewat sekuens panjang mulai dari adu jotos di dalam mobil yang bergerak dalam kecepatan tinggi lalu diikuti dengan kejar-kejaran mobil di jalanan London, Eggsy berhasil selamat. Dibantu dengan banyak efek spesial, Vaughn menyajikannya dengan gerakan kamera hiperaktif yang mengikuti setiap tonjokan dan tendangan. Sekuens berikutnya yang menarik adalah pertarungan antara Eggsy yang bertandem dengan Harry Hart melawan musuh terakhir dimana kamera literally bergerak lebih cepat daripada mereka beraksi. Pada awalnya ini membuat saya berpikir bahwa filmnya boleh jadi merupakan film paling enerjik kedua tahun ini. Namun saat berlangsung terlalu lama, saya tak lagi merasakan keseruannya.

Kalau di film pertama, bos besarnya adalah Samuel L. Jackson yang bermain sebagai Valentine, orang kaya yang akan membunuh semua orang demi menyelamatkan bumi, maka kali ini kita mendapatkan Julianne Moore sebagai Poppy, orang kaya yang juga akan membunuh semua orang, hanya saja dengan tujuan dan metode yang berbeda. Ia bermaksud untuk memaksa Presiden Amerika melegalkan narkoba dengan cara menyandera konsumennya sendiri lewat sebuah virus mematikan. Poppy juga tak kalah eksentrik dibanding Valentine. Ia selalu memasang senyum ala prospektor MLM dan punya markas di hutan Kamboja yang didekorasi dengan properti studio film lawas. Ia juga suka kekerasan dengan cara mencincang manusia hidup menggunakan mesin pencincang daging. Ya. Ini memang film yang begitu.

Bicara soal Kingsman tak lengkap tanpa agen parlente Harry Hart-nya Colin Firth. Namun sayangnya ia tewas ditembak di kepala pada film pertama. Vaughn yang menulis skrip bersama Jane Goldman menggunakan cara lihai untuk membangkitkannya kembali. Dan ini bukan spoiler, karena kita sudah melihatnya lewat poster promosi dan trailer. Meski penting dari sisi komersil filmnya, tapi ini juga menafikan momen penting dari film sebelumnya. Saya tahu, Kingsman beroperasi dalam semesta penuh kemustahilan, tapi membangkitkan orang mati? Ini sedikit mencederai stake. Segala macam risiko yang terjadi bisa ditarik kembali. Dan dimana keseruan dan ketegangan saat tak ada konsekuensi?

The Golden Circle memperluas skala mitologi franchise-nya dengan memperkenalkan "sepupu" dari agensi Kingsman kita yang berkamuflase sebagai toko jas di Inggris yaitu Statesman, agensi mata-mata Amerika yang bermarkas di pabrik penyulingan miras. Pertemuan ini bermula ketika markas Kingsman dibombardir oleh penjahat. Semua agen Kingsman tewas, kecuali Merlin (Mark Strong) dan Eggsy yang kebetulan sedang pacaran dengan putri Swedia (Hanna Alstrom) yang diselamatkan (dan di*uhuk*) di film pertama. Keduanya lalu berangkat ke Kentucky lalu berjumpa dengan Statesmen yang terdiri dari agen bernama-kode miras diantaranya Tequilla (Channing Tatum), Ginger Ale (Halle Berry), Whiskey (Pedro Pascal), dan sang bos Champagne (Jeff Bridges).

Bagaimana cara mengintegrasikan semua nama top ini ke dalam cerita? Uhm. Sebagian dari mereka hanya numpang lewat sebentar sehingga lebih cocok dibilang sebagai cameo. Namun cameo yang paling menggigit, paling tidak awalnya, adalah Elton John yang bermain sebagai dirinya sendiri. Elton ditawan oleh Poppy untuk memberikan hiburan di markasnya yang sepi sekaligus membawakan langsung lagu "Saturday Night's Alright (for Fighting)" di pertarungan klimaks. Ia bahkan sempat pula beraksi. Namun sebagaimana kebanyakan lelucon filmnya, bagian ini juga dibuat melewati batas durasi sengatnya.

(Sebagai padanan bagi lelucon anal dari film pertama (jika belum mengerti, maka anda masih terlalu muda untuk film ini), di film ini kita mendapatkan lelucon yang melibatkan jari dan bagian sensitif wanita. Vaughn tak ragu-ragu; kamera menyorotnya dengan intim yang mungkin akan membuat sebagian penonton tak nyaman.)

Plotnya —yang melibatkan usaha Eggsy mencari vaksin sembari mempertahankan hubungan dengan sang pacar, Harry yang berjuang menemukan kembali skill mata-mata-nya, homage pada film James Bond, dan satire terhadap pola pikir sinis pemerintah— relatif kacau dan asyik njelimet sendiri dimana ada banyak subplot yang tak mengarah kemana-mana. Saya membayangkan film ini akan lebih efektif jika ia lebih ringkas. Energi dan setpieces yang gila menunjukkan bahwa Vaughn tak kehilangan imajinasi dan sentuhan visual yang stylish untuk sekuens aksi yang bombastis; gambar-gambarnya detil dan memanjakan mata. Ia melempar semuanya tapi hanya sedikit yang berkesan. Film ini sangat berkelas untuk dilihat, namun pesonanya tak sementereng saat pertama kita mengenalnya.

2 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page