top of page
  • Facebook Social Icon
  • Twitter Social Icon
  • Instagram Social Icon

REVIEW : Ant-Man


Setelah selalu membuat homerun dengan film-film superhero-nya (termasuk Guardians of the Galaxy yang awalnya banyak dicibir), spekulasi awal memperkirakan bahwa Ant-Man akan menjadi kegagalan perdana Marvel. Sementara kita harus menunggu untuk melihat performanya di box office, tapi paling tidak, secara kualitas film ini tak terlalu inferior. Di balik tampilannya yang sederhana dan down-to-earth, Ant-Man menjadi film Marvel yang paling unik dan paling menghibur meski tak punya kemegahan seperti film superhero lainnya.

Ant-Man mengambil pendekatan yang baru dengan atmosfir yang sedikit berbeda tapi tetap berusaha untuk merangkul elemen khas Marvel. Beberapa cameo dan selipan cerita Avengers mengingatkan kita bahwa Ant-Man tergabung dalam Cinematic Universe. Sutradara Peyton Reed tak memberikan hal yang luar biasa sebagai sutradara, tapi melakukan kerjanya dengan cukup baik mengangkat pahlawan mungil ini ke skala besar.

Cerita dimulai pada tahun 80an, saat beberapa anggota inti S.H.I.E.L.D, Hank Pym (Michael Douglas yang di-render menjadi muda), agen Carter (Hayley Atwell yang didandani menjadi tua), Howard Stark, dan Mitchell Carson melakukan pembicaraan mengenai partikel istimewa bernama "Partikel Pym" yang bisa merubah kerapatan susunan atom. Hank menolak untuk mempublikasikannya karena kuatir dengan dampak yang mungkin ditimbulkan.

Bertahun-tahun kemudian, Hank menjadi peneliti sukses dan mendirikan Pym Tech. Dia mengangkat seorang murid bernama Darren Cross (Corey Stoll). Darren tahu bahwa Hank menyembunyikan sesuatu. Tanpa sepengetahuan Hank, Darren membangun teknologi yang hampir mirip dengan temuan Hank. Tujuannya, membuat kostum yang bisa merubah ukuran pemakainya yang bisa digunakan untuk tujuan militer.

Sementara itu, adalah seorang pencuri ulung yang baru bebas dari penjara, Scott Lang (Paul Rudd) yang kesulitan mendapat pekerjaan. Scott harus membayar biaya bulanan untuk anaknya yang sekarang dirawat oleh istrinya, Maggie (Judy Greer) bersama suami baru, Paxton (Bob Cannavalle). Untuk itu Scott mencuri di rumah Hank. Namun ini hanyalah siasat Hank untuk merekrut Scott menjadi Ant-Man. Berbekal kostum yang bisa membuat pemakainya menjadi kecil tapi kekuatannya bertambah, Scott harus menghentikan Darren.

Sama seperti namanya, Ant-Man punya kemampuan yang kedengarannya payah. Apa kerennya coba superhero yang bisa berubah menjadi kecil dan berbicara dengan semut? Nah, melalui adegan pertarungannya dengan salah satu anggota Avengers membuat kita sadar bahwa Ant-Man pun cukup kuat. Perlu saya sebutkan, bahwa anggota Avengers tersebut — bukan Captain America atau Iron Man — kalah dari sang manusia semut.

Rudd yang mengambil alih kostum Ant-Man memberikan penampilan yang tak berbeda jauh dari karakter yang pernah ditampilkan di film komedinya yang lain. Tak kehilangan sentuhan humor tapi tetap menjadi family-man yang sensitif. Leluconnya tak bisa dibilang kocak banget sampai membuat terpingkal-pingkal, tapi penempatannya pas. Yang lebih menonjol adalah Michael Pena sebagai Luis yang merupakan salah satu dari 3 "anak buah" Scott. Dengan senyuman lebar dan pembawaannya yang riang, Luis mencuri semua adegan yang menampilkan dirinya.

Bertahun-tahun dikembangkan di tangan Edgar Wright — bahkan ada yang menyebut bahwa berkat Wright-lah Ant-Man mendapat lampu hijau dari Marvel — film ini harus kehilangan sutradaranya beberapa minggu sebelum syuting dimulai dan digantikan oleh Peyton Reed. Walau begitu, kita bisa merasakan bagaimana pengaruh Wright terhadap produk akhirnya ini. Beberapa lelucon yang disajikan termasuk gaya bicara Luis mengingatkan kita pada trademarkWright dalam film-filmnya seperti Shaun of the Dead dan Hot Fuzz. Hal ini membuat saya penasaran bagaimana seandainya Ant-Man tetap berada di tangan Wright hingga akhir.

Meski tak bisa dibilang porak poranda, namun alurnya terasa sedikit berantakan. Mungkin karena naskah awal dari Wright bersama Joe Cornish yang dipoles di saat-saat akhir oleh Adam McKay dan Rudd. Kadang-kadang film ini terasa seperti terfokus pada pencurian. Di lain waktu menjadi film sci-fi tipikal, kadang-kadang film keluarga dengan komedi ringan. Selain cerita keluarga Scott dan rivalitasnya dengan Paxton, ada juga sub-plot antara Hank yang ingin memperbaiki hubungan dengan anaknya, Hope van Dyne (Evangeline Lilly). Dan transisi antara semua elemen tersebut terasa sedikit janggal.

Dengan mengesampingkan hal di atas, Ant-Man menjadi film Marvel Origins yang paling menarik bagi saya setelah Iron Man. Film ini menampilkan adegan aksi dengan sajian visual yang spektakuler. Dengan kemampuannya mengecil, penonton diajak untuk masuk ke dalam dunia mikroskopis yang terasa sangat segar. Adegan saat Ant-Man berinteraksi dengan teman-teman semutnya dalam usaha mencuri kostum Yellowjacket — termasuk beraksi di dalam pipa air, ventilasi, dan dalam tanah — membuat saya berbinar-binar. Adegan pertarungan akhir yang terjadi dalam skala kecil di arena mainan anak-anak, tak kehilangan skop keepikan Marvel. Bagusnya, bahkan di saat-saat puncak, diselipkan pula lelucon yang melibatkan Kereta Api Thomas.

Ant-Man tak pernah menanggapi filmnya sendiri (dan film Marvel lainnya) dengan serius. Di beberapa scene, malah tak ragu-ragu menyentil anggota Avengers lain. Film ini adalah film yang ringan. Ant-Man membuktikan bahwa untuk menjadi pahlawan tak perlu menghancurkan seisi kota. Terkadang cukup hanya dengan menyelamatkan orang tersayang.

3 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page