top of page
  • Facebook Social Icon
  • Twitter Social Icon
  • Instagram Social Icon

REVIEW : Captain America: Civil War


Sulit untuk tak menyukai Captain America: Civil War. 2016 menjadi tahun bagi para pahlawan super untuk menghadapi konsekuensi dari tindakan mereka. Telah menonton hampir semua film superhero, saya selalu kepikiran dengan akibat yang timbul setelah aksi bombastis mereka. Maksud saya, siapa yang akan bertanggung jawab atas kehancuran gedung dan jatuhnya korban jiwa tak bersalah? Tentu saja, semesta superhero adalah fantasi dan hal tersebut bisa dilupakan begitu saja. Namun ternyata pertanyaan ini tidaklah sepele dalam Batman v Superman: Dawn of Justice dan (yang terbaru) dalam Civil War. BvS punya ambisi yang lebih tinggi, tapi Civil War menawarkan eksplorasi tema yang lebih memuaskan.

Sebagai non-penggemar Marvel (atau adaptasi buku komik secara keseluruhan) dan bukan bagian dari "konspirasi global" Marvel — yap, mereka tak membayar saya untuk menulis review positif, walau mungkin saya takkan menolak seandainya ditawarkan — saya harus melaporkan bahwa Civil War adalah film yang bagus dan mungkin salah satu yang terbaik dalam konteks film superhero. Film sejenis ini hanya punya satu misi yaitu untuk terlihat keren (tanpa menyerang akal sehat penonton — anda tahu maksud saya). Anthony Russo & Joe Russo benar-benar membuatnya seperti itu. Civil War adalah film yang ditulis dengan cermat dan digarap dengan matang.

Dengan segala atribut kostum canggih dan kekuatan super serta tak melupakan aksi spektakuler, Civil War punya elemen drama humanis yang cukup, sebaik yang bisa dihadirkan oleh film superhero serupa. Sama seperti dalam Captain America: The Winter Soldier, drama ini menjadi masuk akal karena Russo bersaudara membawanya ke level yang manusiawi. Tentu, setiap aksi masih dipenuhi dengan CGI, tapi penggunaannya tak pernah seefektif ini.

Pasca kehancuran New York dan Sokovia dalam The Avengers dan Avengers: Age of Ultron, ditambah dengan adegan pembuka melawan gerombolan Crossbones yang menewaskan banyak orang di Nigeria, PBB bermaksud membuat regulasi bagi superhero. Tony Stark / Iron Man (Robert Downey Jr.) menganggap keberadaan Avengers tanpa aturan adalah membahayakan dan bersedia menandatangani regulasi tersebut. Steve Rogers / Captain America (Chris Evans) malah merasa bahwa ini akan membatasi ruang gerak mereka.

Namun konflik ini tidaklah sebatas pertentangan pandangan politis dan ideologi. Alasan mereka adu jotos lebih personal. Tony dihantui oleh kematian yang ditimbulkan Avengers di Sokovia, sementara Steve sejak awal sudah skeptis pada pemerintah, apalagi saat sobatnya, Bucky / Winter Soldier (Sebastian Stan) menjadi buronan gara-gara diduga melakukan aksi terorisme di kantor PBB yang menewaskan pimpinan (negara fiksi) Wakanda.

Kedengarannya cukup ribet, namun penulis naskah Christopher Markus dan Stephen McFreely menjaga perkembangan plotnya tetap sederhana melalui pembangunan konflik yang bertahap. Semua dilakukan sembari memberi ruang gerak bagi belasan karakternya. Ada motif yang cukup bagi James Rhodes / War Machine (Don Cheadle), Vision (Paul Bettany) dan Natasha Romanoff / Black Widow (Scarlett Johansson) untuk memihak Tony. Begitu pula bagi Sam Wilson / Falcon (Anthony Mackie), Wanda Maximoff / Scarlet Witch (Elizabeth Olsen) dan Clint Barton / Hawkeye (Jeremy Renner) membela keputusan Steve untuk menyelamatkan Bucky. Ini bukanlah konflik antarpersona pahlawan super, melainkan antarkarakter manusia.

Saya sudah menghabiskan beberapa paragraf yang membuat film ini terkesan seperti drama kontemplatif, namun aslinya Civil War adalah hiburan murni. Sebuah film aksi non-stop yang hanya mengambil rehat untuk perkembangan plot atau interaksi verbal karakter. Mengajak kembali tim kreatifnya dari The Winter Soldier, Russo bersaudara mengeksekusi setiap sekuens aksinya dengan impresif. Koreografi kreatif yang diambil dengan penyorotan gambar dinamis dari jarak dekat, mungkin mengurangi luasnya skala, namun juga menekankan urgensi dari setiap sekuens aksinya. Kekuatan super memang tak masuk akal, tapi terlihat logis disini. Pertarungan utama di bandara yang melibatkan selusin superhero dibuat dengan detail dan porsi seimbang tanpa membuat pusing. Kerja tim terkoordinasi dengan baik. Pertarungan penutup antara Iron Man dengan Captain America sedikit inferior namun punya sisi emosional yang kuat.

Meski berdurasi lebih dari 2 jam, film ini tak terasa kepanjangan, karena ada begitu banyak poin yang harus dicakup dan banyak karakter yang harus diceritakan. Di tengah perpecahan ini, sempat pula antagonis (paling biasa tapi paling cerdas dari MCU), Baron Zemo (Daniel Bruhl) memancing di air keruh. Selain akhir tragis aliansi Avengers, ia juga punya agenda untuk memperkenalkan karakter baru. T'Challa (Chadwick Boseman) mendapat peran lebih besar daripada yang kita duga. Boseman memberi karisma yang unik bagi Tony Stark versi Wakanda ini. Sebagai Black Panther, keberingasannya bahkan tak bisa ditahan perisai vibranium Captain America.

Civil War tak kehilangan sentuhan khas Marvel yang lekat dengan citra "seru dan ringan". Di sela-sela debat panas, film ini bisa menyelipkan komedi di saat yang tepat. Apalagi dengan dengan keberadaan Ant-Man (Paul Rudd) dan Spider-Man baru (Tom Holland). Bicara soal keduanya, mereka tak sekadar numpang lewat untuk membuat lelucon. Kemampuan baru Ant-Man cukup mengejutkan. Berkat pembawaannya yang pas antara kocak dan cupu, saya rasa takkan ada lagi yang meragukan kapabilitas Holland sebagai manusia laba-laba.

Di tahun dimana 2 franchise superhero terbesar dengan tema yang sama saling berhadapan, sulit untuk tak membandingkan keduanya. Dengan even puncak — yang dibagi dalam 2 bagian — yang menanti di depan, Marvel tampaknya sudah punya nakhoda yang tepat. Sebelum menggarap even besarnya sendiri, DC sebaiknya mengambil pelajaran yang tepat dulu dari sini.

0 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page