REVIEW : Black Panther
- Randa Harnel
- 8 Des 2018
- 4 menit membaca
Satu hal soal telat menonton film yang lagi heboh, saya terlanjur dikelilingi berbagai macam hype. Belum lagi, perasaan waswas yang berharap agar para pembaca tak mendemo saya karena ulasan datang terlambat. Eh, btw anda nungguin gak sih? Kok saya malah ge'er duluan.
Hype terbesar mengenai Black Panther adalah bahwa film ini melampaui genre-nya dan merupakan film Marvel paling politis sampai saat ini. Saya baru setuju untuk pernyataan terakhir. Film ini tidak melampaui tapi memang berbeda dibanding kebanyakan film superhero. Black Panther membuktikan bahwa sebuah film superhero bisa menjadi politis tanpa terasa memaksakan agenda. Ia menggunakan premis sensitif semacam isolasi dan revolusi sebagai penggerak plot. Namun film ini tetap berada dalam spektrum comic book movie. Lebih spesifik, Black Panther masih tergolong ke dalam tipikal film Marvel.
Kita seperti menonton film Marvel yang familiar, dimana poin ceritanya predictable dan mayoritas aksinya bergantung pada efek spesial yang tak mengambil bobot dan ruang, melainkan hanya berfungsi sebagai efek spesial. Ketika filmnya dalam mode ini, saya rindu akan film Marvel yang lebih superior. Yang menjadi pembeda Black Panther dari film Marvel generik adalah sentuhan akan detil semestanya dan usaha untuk memberikan karakternya motivasi yang manusiawi.
Black Panther menguatkan argumen bahwa sineas yang distingtif akan menghasilkan film yang unik pula. Sebagai film solo bagi jagoan kulit hitam Marvel Cinematic Universe (MCU) pertama, film ini menampilkan kru yang sebagian besarnya adalah kulit hitam, baik di depan maupun di belakang layar. Pembuatnya adalah Ryan Coogler yang sebelumnya menggarap Fruitvale Stationdan Creed. Film ini punya signifikansi kultural dan relevansi sosial. Ia menangkap momen yang pas, ketika kesetaraan ras menjadi isu yang menjadi semakin penting di jaman sekarang.
Setting, untungnya, tak lagi di Amerika —yang berdasarkan film-film, saya simpulkan sebagai Tanah Air Superhero— melainkan di Wakanda. Negara fiktif di Afrika ini tak jauh berbeda level fantasinya dengan Asgard-nya Thor. Isinya gedung-gedung pencakar langit megah serta infrastruktur canggih yang dibangun dengan CGI. Namun, negara ini mengambil tempat di dunia nyata, sama nyatanya dengan Inggris dan Korea. Dahulu kala, diceritakan bahwa meteor yang mengandung vibranium terdampar disana. Teknologi alien ini memberikan kemajuan yang paripurna. Di balik kamuflasenya sebagai negara miskin, Wakanda adalah negara paling unggul di seluruh dunia.
Cerita Black Panther mengambil waktu pasca Captain America: Civil War. Pangeran Wakanda, T'Challa (Chadwick Boseman) mengambil alih tahta kerajaan setelah sang ayah mangkat. Raja Wakanda tak hanya punya kewajiban untuk memimpin 5 suku utama disana, melainkan juga mengemban tanggung jawab sebagai pelindung yang berjuluk "Black Panther". Sebagai raja, T'Challa harus menjaga kerahasiaan Wakanda dari dunia luar yang tengah terancam dengan keberadaan bandit bernama Ulysses Klaue (Andy Serkis yang riang sekali tanpa balutan motion-capture) yang baru saja mencuri beberapa vibranium.
Namun, konflik sebenarnya dibawa oleh bos dari Klaue yang bernama Killmonger (Michael B. Jordan), mantan tentara khusus yang punya dendam lama pada Wakanda. Ia memang jahat, tapi juga punya motif yang logis. Film ini bukan cerita standar mengenai kebaikan dan kejahatan. Killmonger berniat untuk menggunakan teknologi Wakanda demi menyelamatkan kaum kulit hitam yang mengalami opresi di berbagai belahan dunia.
Ini menciptakan dilema moral yang lumayan kompleks, karena sang tokoh utama kita diposisikan untuk berada di posisi yang canggung, galau memikirkan apakah keputusannya adalah yang terbaik untuk Wakanda dan dunia. Kehadiran Killmonger adalah salah satu aspek yang membuat Black Panther menjadi tak seperti film superhero kebanyakan. Konfliknya dekat dengan realita kekinian; sang musuh tak terlibat konspirasi atau tergabung dalam organisasi jahat.
Karakter yang mengelilingi tokoh utama kita juga menarik dan krusial bagi cerita. Forest Whitaker adalah Zuri, paman sekaligus mentor T'Challa. Daniel Kaluuya menjadi W'Kabi, salah satu pemimpin suku dengan perspektif yang sedikit radikal. Karakter wanita mendapat sorotan lebih besar. Angela Bassettadalah ibu T'Challa, Danai Gurira sebagai jenderal tangguh Okoye, dan Lupita Nyong'o menjadi Nakia, intel yang kebetulan adalah mantan pacar T'Challa. Terakhir, ada Shuri (Letitia Wright), adik T'Challa yang berperan seperti Q-nya James Bond sebagai pencipta aneka gadget mutakhir, termasuk kostum Black Panther. Mereka semua terejawantahkan dengan begitu baik, hingga karakter utama kita terpinggirkan dan menjadi tidak begitu menonjol.
Semesta tempat mereka tinggal juga berusaha dihidupkan dengan maksimal. Pemandangan dan nuansanya unik. Coogler menyajikan estetika visual dengan sentuhan etnis yang kaya, mulai dari kostum, set, hingga iringan musik latar yang perkusif dari Ludwig Goransson. Film ini juga punya sekuens aksi yang lumayan menarik. Ada adegan laga di kasino yang diambil secara, atau setidaknya terlihat seperti, one-take. Namun selebihnya, aksinya tenggelam dalam CGI berlebihan dan cut yang hiperaktif.
Semua aspeknya tak bisa dibilang tak kompeten. Namun bagi saya, hasil akhirnya kurang nonjok. Penampilan, arahan, dan kualitas teknisnya bersatu menjadi film yang tak begitu mencolok. Pencampurannya terasa awkward; etnisitas dengan teknologi, pathos yang serius dengan lelucon deadpan. Filmnya tak pergi sejauh seperti yang ingin ia tuju. Klimaksnya, meski memberikan resonansi emosional, hanya punya sedikit urgensi.
Black Panther adalah usaha yang terhormat dari Marvel. Kapan lagi kita mendapatkan film superhero dengan isu sosial dan latar belakang kultural yang kuat? Film ini bahkan tak repot-repot untuk mengekspansi MCU dengan tak menghadirkan cameo yang mungkin mendistraksi. Saya harap film ini menjadi katalis bagi studio besar untuk menyewa lebih banyak sineas yang distingtif untuk menggarap blockbuster mereka.
Comments