REVIEW : Spider-Man: Homecoming
- Randa Harnel
- 8 Des 2018
- 3 menit membaca
Menjadi Spider-Man mungkin adalah hal terkeren kedua di dunia setelah menjadi Batman (jujur saja, anda sudah lama ingin melontarkan kalimat "I am Batman!" dalam suara serak), sehingga sedikit mengherankan saat melihat Peter Parker versi Tobey Maguire dan Andrew Garfield tak sepenuhnya girang saat mereka menjadi manusia laba-laba super ini. Datanglah Tom Holland yang bersikap sebagaimana kita bersikap seandainya kita mendapat kekuatan tersebut: gembira setengah mati dan tak henti-henti berujar "Awesome", "Cool", dan "Badass".
Pembawaan dan karakterisasi yang seperti itu merupakan penggerak utama bagi Spider-Man: Homecoming untuk menjadi film Spider-Man paling ringan, paling segar, dan paling asyik sejauh ini. Tak ada pertarungan bombastis antara jagoan super melawan musuh super dalam kostum mencolok yang memporak-porandakan kota demi menyelamatkan umat manusia bahkan semesta. Alih-alih, kita akan menyaksikan jagoan remaja yang gampang galau, bingung membuat pilihan antara kehidupan sekolah dengan kehidupan memberantas kejahatan.
Siapa bilang menjadi anak SMA lebih gampang daripada menjadi pahlawan super? Peter Parker dihadapkan pada rutinitas sekolah: tugas, bullying, lomba cerdas cermat, pesta reuni alumni, atau naksir kepada senior. Seringkali film ini bermain layaknya film-film remaja ala John Hughes yang kebetulan bintang utamanya adalah seorang superhero. Mungkin didera gejala yang katanya bernama "superhero fatigue", tapi saya memang lebih tertarik saat sang Spider-Man beraksi tidak memakai kostum.
Jangan salah, Spider-Man kita memang ingin menjadi penyelamat semesta seperti Captain America atau Iron Man. Namun mana bisa; ia saja belum resmi menjadi anggota Avengers, sebagaimana yang sering diingatkan oleh Tony Stark / Iron Man (Robert Downey Jr.). Statusnya baru anak magang, jadi saat tidak sedang rewel menunggu misi baru dari asisten Tony Stark, Happy Hogan (Jon Favreau), ia menghabiskan waktu dengan menjadi "Spider-Man, si penjaga lingkungan" yang melakukan misi receh seperti menolong nenek-nenek atau menangkap pencuri sepeda.
Setelah dua versi, kita tak butuh satu lagi film mengenai origin story Spider-Man. Untunglah film ini tak mengulang cerita bagaimana Peter digigit laba-laba mutan atau bagaimana Paman Ben meninggal. Lewat diari video yang direkam sendiri oleh Peter, kita diingatkan dengan ringkas akan petualangan epiknya dalam Captain America: Civil War, sekaligus menggambarkan dengan efektif akan antusiasmenya bergabung bersama grup pahlawan paling tenar sejagad.
Namun itu dua bulan yang lalu. Sekarang Peter harus kembali ke SMA yang para siswinya tak malu-malu mengakui dengan anggota Avengers mana mereka ingin "tidur". Peter tak sekeren Spider-Man di sekolah, bahkan siswi antisosial yang diperankan Zendaya bilang bahwa Peter itu payah, karena ia di-bully oleh DJ sekolah, Flash (Tony Revolori), bengong melihat kecantikan seniornya, Liz (Laura Barrier) atau melakukan hal-hal nerd seperti membangun "Death Star" dari potongan LEGO bersama sobat karibnya, Ned (Jacob Batalon).
Michael Keaton yang sudah pernah menjadi Batman dan Birdman, bermain sebagai Vulture yang punya banyak gadget canggih termasuk sayap robotik anti peluru. Awalnya, ia adalah Adrian Toomes, ketua tim bersih-bersih kota yang kemudian terpaksa berhenti bekerja karena tugasnya membereskan puing-puing Chitauri (dari film The Avengers) diambil alih perusahaan Stark. Adrian menolak mengembalikan teknologi alien tersebut, alih-alih malah mengubahnya menjadi senjata mematikan. Dengan bantuan Ned yang ahli komputer, Peter bergerilya mengatasi kejahatan di kotanya meski berkali-kali ditegur oleh Tony Stark. Belum lagi ia harus menyembunyikan identitasnya dari Tante May (Marisa Tomei).
Tentu saja bakal ada sekuens aksi spektakuler yang melibatkan parade efek spesial. Adegan penyelamatan di Washington Monument lebih superior dibandingkan bencana di kapal feri, karena lebih plausible dan mungkin juga karena menggunakan perspektif kamera dari sudut yang membuat saya gemetar. Pertarungan puncak adalah sekuens aksi paling konyol sepanjang sejarah film Spider-Man, dan saya sudah memasukkan pertarungan Spider-Man versus Rhino; Spider-Man bergelantungan melawan Vulture di atas pesawat transparan yang terbang di atas awan dengan kecepatan tinggi. Namun di titik ini kita benar-benar mengkhawatirkan keselamatan Peter, karena filmnya punya real story with some real stakes; cerita bukan sekedar filler di antara sekuens aksi.
Sutradara Jon Watts —yang pernah menggarap Cop Car, film yang juga bercerita mengenai anak-anak yang terlibat bahaya besar— menangani subplot yang saling berjalinan ini dengan efektif. Ia juga sabar, tak merasa perlu untuk terburu-buru. Lihat adegan simpel tapi menegangkan saat konfrontasi Peter dengan Vulture di dalam mobil. Dinamika keseharian remaja yang penuh semangat dan terkadang canggung ditangkap dengan baik, sehingga membuat bagian ini terasa lebih mengikat daripada sekuens aksinya. Film ini juga dengan lihai menyentil film-film Marvel lain (Captain America menjadi narator untuk pesan layanan masyarakat), bahkan membuat referensi terhadap film-fizlm Spider-Mansebelumnya.
Tom Holland yang sebelumnya pernah bermain akrobat, katanya memerankan sendiri sebagian besar stunt-nya. Holland akhirnya menjadi Peter Parker yang tak hanya bersikap seperti anak SMA, tapi juga benar-benar terlihat sebagai anak SMA (maaf Maguire, maaf Garfield). Holland dan Spider-Man: Homecomingmenunaikan tugasnya untuk membentuk Peter Parker menjadi karakter berdimensi tanpa terbebani oleh pendahulunya. Kesuksesan terbesarnya adalah membuat Spider-Man terlihat sebagai Peter Parker; keduanya pada dasarnya memang adalah orang yang sama. Film ini berfokus pada apa yang membuat Spider-Man manusia. Bukan kostum yang membuat Peter Parker menjadi jagoan bernama Spider-Man. And yet, ia masihlah remaja yang tak sabaran, penuh semangat dan melihat dunia dengan mata yang lebar.
Comments