REVIEW : Thor: Ragnarok
- Randa Harnel
- 8 Des 2018
- 3 menit membaca
Thor: Ragnarok mungkin merupakan film terbaik yang bisa dibuat dari Thor dan legenda Norse-nya. Film ini adalah film Thor yang aneh. Oke, semua film Thor itu aneh, tapi yang ini lebih aneh. Ia bermain lebih seperti Guardians of the Galaxy yang trippy. Filmnya menampilkan lingkungan yang lebih fantastis dan lebih banyak alien yang eksotis. Film ini juga merupakan film Thor yang paling fun.
Sang dewa petir dari mitologi Norse yang telah di-Marvel-kan ini pada dasarnya memang karakter yang sedikit menggelikan. Meski punya kemampuan super yang sempurna dan dimainkan oleh Chris Hemsworth yang juga punya tampilan fisik yang sempurna, tapi ia adalah bland superhero with great responsibilities. Mendengarnya bicara sama seperti melihat orang-orang priayi kekinian yang lagi pamer karena merasa lebih istimewa dari jelata. Tak ada yang menganggap serius apa yang mereka katakan/lakukan, kecuali diri mereka sendiri. Ia juga merupakan karakter yang sedikit pelik untuk ditangani. Sebagai seorang dewa, Thor ini begitu kuat hingga di titik mustahil untuk dikoitkan, padahal harus menghadapi ancaman di level antargalaksi.
Sutradara dari Selandia Baru, Taika Waititi yang pernah menggarap komedi eksentrik What We Do in the Shadows dan Hunt for the Wilderpeople, sadar akan hal ini dan dengan senang hati menyuguhkannya pada kita, menjadikan omong kosong dewa-dewi sebagai bahan lawakan absurd yang dilatari aksi khas blockbuster generik. Film ini bermain-main dengan klise superhero (ada satu lagi lelucon bagus mengenai superhero's landing). Kepribadian Thor menjadi bahan lelucon di filmnya sendiri. Dan Hemsworth kembali bisa mengeluarkan bakat ngelawaknya.
Thor bisa nyeletuk di depan bahaya besar, dan ini wajar karena, hei, ia kan dewa. Jadi meskipun ia harus melawan iblis api raksasa bernama Surfur yang diramalkan memancing “ragnarok”, kita tahu ini akan menjadi misi yang mudah. Ketika pulang kampung ke Asgard, Thor melihat ayahnya, Odin (Anthony Hopkins) lagi duduk-duduk cantik menonton opera receh. Wow, tampaknya Thor: The Dark World tak hanya merusak kesehatan jiwa kita saja, tapi Odin juga. Well, ternyata tidak. Ternyata Loki (Tom Hiddleston) lah yang menyamar sebagai Odin.
Mengenai “ragnarok”, kata ini mengacu pada pertempuran besar di akhir jaman yang menimbulkan kiamat dalam legenda Norse. Yang membawanya adalah Dewi Kematian, Hela (Cate Blanchett), mantan dewi yang terlupakan dari sejarah Asgard. Dan sebagaimana kebanyakan mantan yang terlupakan, ia lagi gusar dan sekarang ingin membalas dendam. Kekuatannya juga sebesar dendamnya, terbukti dengan palu Mjolnir milik Thor (yang bahkan tak bisa diangkat oleh naga sekalipun) yang bisa dibuatnya hancur berkeping-keping.
Pertarungan pertamanya dengan Hela mengakibatkan Thor terlempar ke planet nun-jauh-disana bernama Sakaar. Planet ini dikuasai oleh Jeff Goldblum yang berpura-pura menjadi alien bernama “Grandmaster”, kayak kita bakal percaya saja. Thor ditawan kemudian dipaksa menjadi gladiator. Di arena ini, ia berjumpa dengan raksasa hijau Hulk (Mark Ruffalo), rekan sesama Avengersyang disebut Thor sebagai “teman di tempat kerja”, tapi jelas Hulk tak merasa begitu.
Thor: Ragnarok paling sukses bekerja di buddy comedy antara Thor dan orang-orang di sekitarnya. Thor dan Hulk tak begitu kompak sehingga mereka menyindir dan mengolok satu sama lain. Hulk, raksasa hijau yang tak terlalu cerdas tapi lumayan sensitif, mendapat porsi yang lebih banyak dibandingkan penampilannya dari dua film The Avengers. Akhirnya, dua karakter paling tumpul di semesta Marvel diberi juga semacam kepribadian.
Begitu juga dengan dinamika Thor dan Loki yang sejak kecil sudah menjadi saudara-tapi-musuh-bebuyutan. Faktanya, Thor dikelilingi oleh karakter-karakter yang sangat menarik. Tessa Thompson bermain sebagai Valkyrie, petarung legendaris Asgard yang menjadi makelar budak yang doyan mabuk-mabukan di Sakaar. Waititi sendiri mendapat peran gurih lewat teknologi motion-capture sebagai Korg, monster batu yang juga seorang gladiator arena. Dengan suara cempreng dan kepribadian polos, ia punya jatah dialog yang kocak. Hampir semua karakter di film ini melontarkan lelucon, bahkan di situasi paling serius.
Apakah karakter eksentrik, visual warna-warni, dan komedi self-aware ini membuat kita tak melupakan plotnya? Tidak juga sih. Cerita ketinggalan di nun-jauh-disana. “Ragnarok” adalah poin filmnya, tapi bagian plot mengenai Hela kok malah kadang terasa mengganggu. Kita ingin cepat-cepat kembali pada Thor dkk. Cerita kurang punya gravitas, kita tak merasakan nuansa bahaya atau emosional saat sesuatu yang serius terjadi. Film ini minim ketegangan. Dan ini bukan salah lelucon, karena saat tidak berlelucon pun ia tak intens. Waititi, meski bagus dalam berkomedi, tak begitu klik saat menggabungkannya dengan cerita standar film superhero. Adegan aksinya kebanyakan tak mengambil dimensi ruang atau berat, tapi hanya sekadar efek spesial.
Saya mendapati bahwa kecenderungan filmnya untuk memberikan koneksi dengan cinematic universe kali ini lumayan mendistraksi. Banyak fanservice, seperti trivia, cameo, dan callback terhadap film Marvel sebelumnya, yang akan membuat penonton yang berdedikasi pada semesta Marvel menyeringai bahagia sementara penonton lain akan terhenyak heran. Saya suka sekali melihat respon teman menonton saya saat mendengar istilah-istilah halu yang seolah bilang “WTF was that”. Namun, inilah tujuan filmnya, bukan?
Comments